Efek Jangka Panjang COVID-19

D-Journal-40-covid19-01.jpg

Kita semua tahu bahwa gejala umum dari COVID-19 adalah: demam, batuk kering dan kelelahan yang berlebihan. Beberapa penderita juga mengalami ngilu-ngilu, sakit tenggorokan dan kehilangan indera perasa dan penciuman, termasuk sakit perut, dan diare. Orang yang memiliki gejala lebih parah juga melaporkan kebingungan, ruam, nyeri otot yang parah dan sesak napas.

Penderita yang memiliki gejala ringan, kemungkinan dapat pulih dalam hitungan minggu. Tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa penderita tidak sepenuhnya sembuh dari COVID-19. Meninggalkan bekas pada penderitanya – bukan hanya pada penderita berusia lanjut dan dengan gejala berat.

Di permukaan, COVID-19 adalah penyakit paru-paru. Virus SARS-CoV-2 menginfeksi sel-sel saluran pernapasan dan dapat menyebabkan pneumonia yang mengancam jiwa. Tetapi pada kenyataannya organ tubuh yang lain juga terkena efek dari virus ini. King’s College London telah membuat sebuah aplikasi yang mencatat gejala harian dan perkembangan dari 4 juta pasien penderita COVID-19 di Inggris, Swedia dan Amerika Serikat.

Pasien dengan infeksi virus yang parah menggambarkan rentang gejala yang jauh lebih kompleks daripada yang biasanya. Termasuk terjadinya radang otak (ensefalitis), menyebabkan kebingungan dan berkurangnya kesadaran dan hingga 6 persen penderita yang terinfeksi parah mungkin mengalami stroke.

Studi patologi dan otopsi pasien yang meninggal karena COVID-19 mengungkapkan gambaran dari pneumonia berat atau sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), dengan peradangan dan jaringan parut yang luas. ARDS terjadi ketika terjadi peradangan mendadak dan meluas di paru-paru, yang mengakibatkan sesak napas dan kulit menjadi kebiruan.

Studi juga mengungkapkan virus tersebut nampak secara langsung menyebabkan peradangan pada pembuluh darah, tidak hanya di paru-paru tetapi di berbagai organ, yang menyebabkan penggumpalan darah dan kerusakan pada ginjal dan jantung.

Siapapun yang terdampak COVID-19 dengan gejala parah kemungkinan besar akan menderita efek jangka panjang. Virus memberikan gejala yang terus-menerus bahkan pada mereka yang menderita bentuk penyakit lebih ringan.

Banyak postingan yang di share di media sosial oleh pasien. Mereka menceritakan meskipun telah sembuh, namun masih merasakan gejala yang sama pada saat mereka masih sakit. Banyak dari mereka menderita lebih dari 60 hari setelah terinfeksi virus.

Salah satu penderita COVID-19 bernama Paul Garner, seorang Spesialis Penyakit Menular di Liverpool School of Tropical Medicine di Inggris. Ia terinfeksi pada akhir Maret dan gejala yang ia rasakan terus berlangsung. Ia mendeskripsikan apa yang ia rasakan pada sebuah postingan blog yg di publish di British Medical Journal: kepala terasa panas dan lembab, sakit perut, tinnitus (telinga berdenging), sesak napas, pusing, radang sendi di tangan. Gejala-gejala ini bertambah dan berkurang, namun tak kunjung teratasi. Ia mengatakan bahwa hal ini membuatnya frustasi dan dapat merusak hubungan antar pasangan,

Sejauh ini, hanya satu penelitian yang melaporkan hasil pada gejala jangka panjang akan infeksi COVID-19: satu kelompok dari Roma, terdiri dari 143 orang yang selamat. Kebanyakan dari mereka tidak memerlukan rawat inap dan dipantau setidaknya 60 hari setelah infeksi. Pada 44,1 persen kasus – dilaporkan kualitas hidup mereka memburuk – termasuk gejala kelelahan yang terus-menerus (sebanyak 53,1 persen), sesak napas (43,4 persen), nyeri sendi (27,3 persen), dan nyeri dada (21,7 persen).

Pengalaman dengan virus corona lainnya, seharusnya memperingatkan kita sebelumnya tentang masalah ini. Virus SARS pertama dan Middle Eastern Respiratory Virus (MERS) menyebabkan penyakit parah pada penderitanya dengan proporsi lebih besar daripada penderita COVID-19, dengan jumlah penderita pneumonia akut dan membutuhkan perawatan intensif.

Pandemi COVID-19 masih berada dalam tahap awal. Pasien yang terinfeksi virus dan dinyatakan sembuh, masih merasakan gejala-gejala yang sama pada saat mereka sakit, efek jangka panjang yang dirasakan jelas sesuatu yang tidak biasa dan kekhawatiran mereka perlu di dengar, dipelajari dan dipahami.

Kita perlu untuk terus belajar. Masih banyak pekerjaan dan riset yang perlu dilakukan dalam memerangi pandemi COVID-19.

Previous
Previous

Apple Dinobatkan Sebagai Perusahaan Bervaluasi Tertinggi di Dunia

Next
Next

Perangi Pandemi dengan Riset dan Edukasi Sains