Virus Tak Mengenal Usia
“Sungguh tak berlebihan apabila saya mengatakan rasa sakit dan nyerinya seperti ditabrak mobil.” Mark Stubb, seorang pemuda berusia 28 tahun yang terinfeksi COVID-19 menceritakan apa yang ia rasakan kepada harian Good Morning Britain. Wawancara ini berbanding terbalik dengan video yang viral di Twitter – seorang pemuda Amerika setengah mabuk, saat diwawancara mengatakan “Saya tidak akan membiarkan virus corona menghentikan saya berpesta!”
“Saya ingin semua orang tahu betapa berbahayanya virus ini, banyak yang masih menganggap remeh. Saudari saya berusia 36 tahun, sehari-hari dia sehat dan bugar. Dia masih muda – bukan hanya lansia yang berisiko terinfeksi virus ini.” Ujar seorang wanita kepada media lokal Birmingham. Saudarinya, Areema Nasreen, seorang perawat, saat ini tengah berjuang dengan bantuan ventilator. Kemungkinan anak muda meninggal akibat pandemi ini lebih kecil daripada lansia, tetapi bukan berarti mereka kebal terhadap COVID-19. Pekan lalu di Inggris, seorang berusia 18 tahun tercatat sebagai korban termuda yang meninggal akibat virus corona.
Tampaknya media dan pemerintah gagal dalam melaporkan dan mengomunikasikan bahaya COVID-19, sehingga anak-anak muda menganggap pandemi ini bukan ancaman bagi mereka tetapi hanya bagi generasi yang lebih tua. Minggu lalu saat konferensi pers, Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakannya secara langsung, “Saya memiliki pesan untuk anak-anak muda: Anda tidak kebal; virus ini bisa membuat Anda dirawat di rumah sakit selama berminggu-minggu atau bahkan bisa membunuh Anda. Bahkan walaupun Anda tidak sakit, keputusan Anda untuk tetap bepergian mungkin membahayakan nyawa orang lain.”
Kemungkinan anak muda meninggal akibat pandemi ini lebih kecil daripada lansia, tetapi bukan berarti mereka kebal terhadap COVID-19
Memang betul lansia lebih mungkin meninggal karena COVID-19: rata-rata korban yang meninggal di Italia berusia 78 tahun. Menurut studi kasus selama periode tanggal 12 Februari hingga 16 Maret dari salah satu Center for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat, 20 persen pasien rawat inap berusia 20 hingga 40 tahun dan kelompok usia yang sama yang masuk dalam perawatan instensif mencapai 12 persen. Studi ini menunjukkan bahwa pasien yang lebih muda juga menderita virus ini.
Meskipun kelompok usia muda lebih mampu bertahan hidup; hingga saat ini, 2 persen kematian di Amerika terjadi di kelompok usia 20 sampai 44 tahun – yang jelas merupakan angka kematian yang tinggi. Menghabiskan 10 hari di ruang perawatan intensif dengan memakai ventilator, tidak hanya berkontribusi mengurangi daya tampung rumah sakit tetapi juga sangat menyakitkan meski Anda bahkan tidak perlu dirawat inap. Daryl Doblados, berusia 29 tahun dari Littleport di Cambridshire terinfeksi COVID-19 ringan mengatakan kepada situs berita lokal “Saya merasa seperti tenggelam.” Prabhjot Sings dari Fakultas Farmasi Icahn mengatakan kepada harian The Hill, “Ya, mungkin Anda tidak meninggal, tetapi menjalani hidup dengan paru-paru atau organ tubuh lain rusak, bukanlah hasil yang baik.”
Lalu mengapa lansia lebih berisiko sakit daripada mereka yang lebih muda? Paul Hunter seorang profesor farmasi dari Universitas East Anglia mengatakan, “Salah satu faktornya adalah karena penyakit yang kita peroleh seiring bertambahnya usia.” Ia pun menambahkan, keadaan ini diperparah oleh kebiasaan buruk seperti merokok, misalnya. “Dengan adanya kerusakan pada paru-paru berarti kita tidak ada cadangan lain untuk mengatasi infeksi virus ini.” Hal ini terbukti dari laporan yang menunjukkan bahwa banyak lansia yang meninggal di Italia memiliki penyakit kronis seperti tekanan darah tinggi, kanker, dan diabetes.
Hunter menambahkan, seiring bertambahnya usia sistem kekebalan tubuh kita akan melemah. “Lansia membutuhkan waktu lebih lama untuk memproduksi antibodi yang baik,” ia menjelaskan bahwa sel tubuh akan mencoba beberapa bentuk yang berbeda sebelum akhirnya memilih dan memproduksi sel yang mampu bekerja melawan virus. “Proses ini tidak berlangsung cepat pada tubuh lansia. Hidup atau mati kita bergantung pada seberapa cepat tubuh kita menghasilkan antibodi, dibandingkan seberapa cepat COVID-19 berkembang.” Itulah sebabnya tenaga medis berada dalam risiko tinggi, karena mereka lebih banyak terpapar virus, tambahnya
Hidup atau mati kita bergantung pada seberapa cepat tubuh kita menghasilkan antibodi, dibandingkan seberapa cepat COVID-19 berkembang.
Akan tetapi kondisi ini berbeda untuk anak-anak, bahkan bila dibandingkan dengan anak muda. Sejauh ini hanya ada satu anak berusia 14 tahun yang meninggal karena COVID-19 di China. Menurut penelitian CDC di Amerika Serikat, jumlah orang berusia di bawah 19 tahun yang dirawat inap berada di bawah 1 persen. Mirip dengan SARS dan MERS, keduanya tidak membunuh anak-anak.
“Kita mengetahui bahwa anak-anak cenderung memiliki kasus yang lebih ringan, tetapi kita juga melihat ada anak-anak yang meninggal akibat virus ini. Sehingga kita tidak bisa menyatakan bahwa risiko pada mereka cukup rendah, penting bagi kita untuk melindungi mereka.” Kata Maria Van Kerkhove, pimpinan teknis COVID-19 di WHO saat konferensi pers minggu lalu. Penyakit ini nampak lebih ringan pada sebagian besar - tetapi tidak semua - anak-anak dibandingkan orang dewasa, tetapi mereka tetap membutuhkan perlindungan. Beberapa bisa sakit parah, khususnya pada mereka yang memiliki kondisi paru-paru yang tidak sempurna.
Saat ini, masih banyak hal yang tidak kita ketahui. Seberapa besar dampak COVID-19 pada anak-anak akan menjadi area studi saat krisis mereda. Akan tetapi, ada beberapa penelitian yang sudah diterbitkan seperti jurnal ilmiah Pediatrics yang pekan lalu mengamati 2.143 anak-anak di China di mana sepertiga dari jumlah tersebut dikonfirmasi oleh laboratorium terinfeksi COVID-19 dan sisanya diduga terinfeksi berdasarkan gejala yang ada. 55 persennya tidak memiliki gejala atau hanya memiliki gejala ringan dan 39 persennya memiliki gejala sedang. Hanya satu pasien yang meninggal saat penelitian – satu dari total dua orang anak meninggal karena COVID-19 – dan hanya 6 persen yang memiliki gejala parah atau kritis, dibandingkan dengan 18,5 persen pada kasus orang dewasa. 6 persen merupakan angka yang tinggi, kelompok usia tersebut belum terkonfirmasi terinfeksi COVID-19, tetapi mereka memiliki gejala yang parah. Menurut para peneliti, bisa saja anak-anak tersebut terkena jenis penyakit pernapasan yang berbeda.
Menurut data statistik CDC, anak-anak memiliki kemungkinan kecil membawa penyakit ini, namun kesimpulan ini muncul bisa saja karena pengujian yang terbatas. Mereka tidak menunjukkan gejala yang parah dan tidak perlu dirawat inap, sehingga mereka tidak di tes COVID-19. Tentu saja bukan berarti sekolah tetap dibuka. Meskipun anak-anak dan remaja tidak menderita sakit parah seperti kakek-neneknya, mereka bisa terinfeksi dan bisa menyebarkan virus ini kepada orang lain. Di Korea Selatan, 30 persen kasus COVID-19 yang terkonfirmasi adalah mereka yang berusia 20 hingga 29 tahun, sementara di Italia hanya 3,7 persen pada kelompok usia yang sama. Hal ini bisa terjadi karena perbedaan cara pengujian atau perbedaan demografi antar kedua negara.
“Jika tingkat keparahan penyakit ini pada pasien berumur 20 tahun sama dengan semua pasien di usia yang berbeda, kita tidak akan melakukan seperti apa yang terjadi saat ini,” ujar Paul Hunter mengomentari upaya pencegahan seperti social distancing dan lockdown oleh pemerintah. “Permasalahannya adalah bukan anak muda yang akan sekarat, tetapi kakek-nenek mereka yang akan sekarat karena ketidakpedulian mereka akan virus ini.”