Tembaga: Senjata Pembunuh Virus?

(ops)D-Journal-1-Tembaga-web-01-01.jpg

Dalam tradisi Cina, unsur ini disebut sebagai ‘qi’ – sebuah simbol kesehatan. Budaya Mesir mengenalnya sebagai ‘ankh’, sebuah simbol hidup yang abadi. Sedangkan bangsa Fenesia menyetarakan unsur ini dengan Dewa Aphrodite yang merupakan dewa cinta dan kecantikan.

Semua catatan kebudayaan kuno ini merujuk pada tembaga, sebuah materi yang telah diyakini penting bagi kesehatan selama lebih dari 5.000 tahun oleh berbagai perababan di dunia. Saat influenza, bakteri seperti E.coli, superbug seperti MRSA, atau bahkan coronavirus mendarat di permukaan-permukaan keras, mereka dapat hidup hingga empat atau lima hari. Namun saat mereka menempel pada tembaga atau logam campuran tembaga seperti kuningan, mereka akan mati dalam hitungan menit. “Kami melihat virus-virus itu terpecah,” ungkap Bill Keevil, seorang profesor kesehatan lingkungan dari University of Southampton. “Saat mereka (virus) mendarat di tembaga, materi tersebut langsung menghancurkannya.”

Tak heran jika di India, masyarakatnya terbiasa untuk minum dari gelas berbahan tembaga selama berabad-abad. Bahkan di Amerika Serikat, pipa untuk keran air minum pun kebanyakan terbuat dari tembaga. Hal ini dikarenakan tembaga merupakan antimikrobakterial pasif yang alami. Tembaga dapat mensterilkan permukannya sendiri tanpa bantuan listrik atau pemutih.

Tembaga menjadi populer sebagai material untuk produk, perangkat, dan bahan bangunan pada masa revolusi industri. Hingga saat ini pun tembaga masih digunakan terutama untuk jaringan listrik karena sifatnya yang sangat efektif sebagai konduktor. Namun tembaga sudah mulai banyak tergantikan sebagai material untuk bahan bangunan sejak kehadiran material-material alternatif di abad 20 seperti plastik, tempered glass, aluminium, dan stainless steel yang dilabeli sebagai material modern. Semenjak itulah gagang pintu, pegangan tangga, dan pagar dari bahan tembaga mulai ditinggalkan karena arsitek lebih memilih material modern yang dianggap lebih ‘sleek’ dan relatif lebih murah.

Tembaga merupakan antimikrobakterial pasif yang alami.

Profesor Keevil percaya bahwa inilah saat yang tepat untuk mengembalikan tembaga ke bangunan-bangunan, terutama area publik dan rumah sakit. Bahkan untuk mencegah pandemi lainnya di masa mendatang, tembaga perlu untuk diaplikasikan pada transportasi massal dan perumahan penduduk. Meski terlambat untuk dijadikan ‘pembunuh’ COVID-19, masih ada waktu untuk bersiap bagi pandemi selanjutnya.

Pada tahun 1983, peneliti medis Phyllis J. Kuhn menuliskan sebuah kritik mengenai ‘lenyapnya’ tembaga dari bangunan rumah sakit. Selama pelatihan higienitas di Hamot Medical Center di Pittsburgh, para mahasiswa menyeka berbagai permukaan yang ada di rumah sakit, termasuk kloset dan gagang pintu. Kuhn menyadari bahwa toilet bersih dari mikroba, sementara beberapa perangkat justru kotor dan ditumbuhi bakteri berbahaya saat dicoba dikembangbiakkan di dalam cawan petri saat diteliti.

“Gagang pintu dan push plates (lempengan logam yang ditempel di pintu dorong – red.) dari stainless steel yang halus dan bersinar tampak bersih. Secara kontras, gagang dan push plate pintu dari kuningan yang mulai berkarat terlihat kotor dan terkontaminasi,” tulisnya. “Namun meski berkarat, kuningan – logam campuran dari 67% tembaga dan 33% zinc – [membunuh bakteri], sementara stainless steel – sekitar 88% besi dan 12% kromium – hanya sedikit sekali menghalau pertumbuhan bakteri.

Kuhn menutup tulisannya dengan kesimpulan yang cukup sederhana untuk diikuti oleh seluruh sistem perawatan kesehatan. “Jika rumah sakit Anda sedang direnovasi, cobalah untuk mempertahankan perangkat kuningan tua yang ada atau jika diganti gunakan material yang sama; jika Anda memiliki perangkat stainless steel, pastikan bahwa perangkat itu didesinfeksi setiap hari, terutama di area perawatan kritis.”

Beberapa dekade kemudian, dengan dukungan dari Copper Development Association, Keevil mendorong penelitian Kuhn lebih jauh lagi. Dengan penelitian di laboratoriumnya dengan beberapa pathogen yang paling ditakuti di dunia, Keevil mendemonstrasikan bahwa tidak hanya tembaga mampu secara efisien membunuh bakteri, tembaga juga membunuh virus. Pada tahun 2015 bahkan ia mendemonstrasikan fenomena ini dengan pendahulu COVID-19 yakni coronavirus 229E.

Dalam penelitian Keevil, ia mencelupkan lempengan tembaga pada alkohol untuk mensterilisasinya. Kemudian ia mencelupkannya pada aseton untuk menyingkirkan minyak-minyak yang tersisa. Setelahnya ia meneteskan sedikit patogen pada permukannya. Dalam seketika pun permukaannya telah mengering. Sampel-sampel tersebut dibiarkannya mulai dari beberapa menit hingga beberapa hari. Kemudian ia mengaduknya pada sebuah kota yang dipenuhi manik-manik dan cairan. Manik-manik mengikis bakteri dan virus dari lempengan logam dan mencampurkannya ke dalam cairan, setelah itu barulah cairan dijadikan sampel untuk mendeteksi keberadaan bakteri dan virus. Dalam percobaan lain ia mengobservasi dan merekam secara mikroskopik patogen yang ‘dihancurkan’ oleh tembaga begitu bersentuhan.

Efeknya terlihat seperti sulap, ujarnya. Namun hingga titik ini, fenomena tersebut memang lah sains secara umum. Saat virus atau bakteri menempel pada permukaan tembaga, ia akan diserang oleh ion-ion dari tembaga. Ion-ion tersebut menembus sel dan virus seperti peluru. Tembaga tidak hanya membunuh patogen; ia juga menghancurkannya sampai ke asam nukleat di dalamnya.

“Tidak ada kesempatan untuk bermutasi [atau berevolusi] karena semua gen terhancurkan,” ungkap Keevil. “Itulah salah satu manfaat dari tembaga.”

Previous
Previous

Virus Tak Mengenal Usia

Next
Next

Menulis Dengan Otak