Menulis Dengan Otak

D-Journal-5-Thoughtstotext-web-01.jpg

Pernah membayangkan betapa menyenangkannya apabila ada sebuah teknologi yang bisa menuliskan ide-ide di pikiran kita ke dalam sebuah tulisan? Ya, ide gila yang umumnya bersumber dari kemalasan untuk menulis itu pasti pernah setidaknya sekali terlintas di benak kita semua. Jika dulu mungkin ini hanya sekadar angan-angan, namun sepertinya tak lama lagi inovasi ini akan terwujud.

Peneliti dari University of California baru-baru ini mengatakan bahwa mereka tengah mengembangkan sebuah sistem yang dapat menerjemahkan sinyal-sinyal dari otak manusia ke dalam bentuk teks. Ini merupakan sebuah langkah menjanjikan menuju “speech prosthesis” – sebuah teknologi yang membantu mereka dengan kelumpuhan untuk berkomunikasi. Kalau kita mengingat bagaimana ilmuwan Stephen Hawking berkomunikasi dengan memilih kata-kata dan huruf melalui layar synthesizer yang dikontrol oleh kedutan otot di pipinya, speech prosthesis dapat mempercepat proses komunikasi tersebut karena langsung memproses pikiran ke dalam teks.

Meskipun ternyata proyek ini belum sejauh itu untuk mencapai tahapan speech prosthesis, salah satu peneliti bernama Joseph Makin menyampaikan kepada The Guardian bahwa penelitian mereka ini dapat menjadi landasan bagi pengembangan speech prosthesis ke depannya.

Joseph Makin dan kolaboratornya mendeskripsikan sistem baru ini dalam sebuah tulisan ilmiah dalam jurnal Nature Neuroscience. Pada penelitiannya, mereka merekrut empat pasien epilepsi yang telah dipasangi rangkaian elektroda pada otaknya untuk dimonitor. Mereka meminta partisipan untuk membacakan rangkaian kalimat secara keras dan berulang-ulang sambal mengumpulkan informasi neural – rangkaian data yang mereka gunakan nantinya untuk melatih algoritma dalam menerjemahkan sinyal meski saat subyek nantinya tidak membaca secara keras.

Sesungguhnya sistem ini masih memiliki kelemahan – terutama karena ia hanya bekerja dengan baik pada kalimat-kalimat yang telah dilatih sebelumnya. Namun tingkat keakuratannya dapat dikatakan cukup impresif. The Guardian melaporkan bahwa sistem ini hanya memiliki tingkat eror sekitar 3% yang artinya hanya berada sedikit di bawah hasil interpretasi manusia.

Masih berdasarkan laporan The Guardian, para peneliti di balik sistem ini pun berharap bahwa penelitian mereka dapat digunakan sebagai basis dari pengembangan teknologi komunikasi bagi mereka yang tidak mampu mengetik atau bersuara karena sindrom atau penyakit tertentu.

Previous
Previous

Tembaga: Senjata Pembunuh Virus?

Next
Next

Catatan Editor: Selamat Datang Di Masa Depan