Pembangkit Listrik Tenaga Surya Akan Jadi Sumber Energi Utama Masyarakat Urban?
Listrik merupakan salah satu sarana pendukung aktivitas manusia. Khususnya aktivitas-aktivitas di industri besar membutuhkan tenaga listrik sebagai sumber energi utama. Indonesia sendiri memiliki potensi berupa tenaga matahari sebagai sumber tenaga listrik. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi alat alternatif pembangkit listrik mandiri. Penggunaan panel surya mampu mengubah energi sinar matahari menjadi energi listrik. Penggunaan panel surya ini jauh lebih hemat, efisien, serta tidak menghasilkan emisi yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Sejak September 2017, Indonesia sudah mendeklarasikan ‘Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap’. Bentuk gerakan ini bertujuan mempercepat pembangunan pembangkit listrik surya atap di perumahan, fasilitas umum, gedung, bangunan komersial, dan kompleks industri.
Sinar Matahari Sebagai Energi Alternatif
Pilihan energi alternatif sinar matahari menjadi sangat potensial digunakan karena tidak habis dan didapatkan secara gratis. Pancaran sinar matahari tersebut digunakan sebagai sumber energi alternatif di masa depan. Sinar matahari tersebut dikonversikan menjadi energi listrik menggunakan teknologi fotovoltaik (photovoltaic/pv) yang sering disebut panel surya. Panel surya akan menyalurkan energi listrik langsung kepada PLN, dan kemudian disalurkan ke bangunan-bangunan yang terhubung. Energi ini dimanfaatkan untuk mengurangi polusi dan emisi karbon efek rumah kaca. Indonesia sangat beruntung, karena secara geografis, Indonesia berada di garis khatulistiwa yang berarti Indonesia kaya akan sumber energi surya. Rata-rata intensitas radiasi matahari di wilayah Indonesia mencapai 4,8 kWh/m2 per harinya, atau setara 112.000 Giga Watt-peak (GWp).
Tren PLTS di Indonesia
Punya manfaat positif, tren penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia justru masih terhitung lambat. Lain halnya di sektor komersil yang berkembang semakin cepat, penggunaan PLTS atap di fasilitas umum dan industri besar justru kurang berkembang. Berdasarkan data hasil survei pasar IESR bulan Juli sampai Agustus 2018 di wilayah Jabodetabek menunjukkan, ada sekitar 13% potensi pasar atau setara 166.000 – 184.000 rumah tangga yang berminat menggunakan energi surya di rumahnya. Di tahun 2019 dan 2020, IESR melakukan survei pasar lanjutan di pulau Jawa dan Bali, hasilnya terdapat potensi pasar 19% untuk Surabaya, 9,6% Jawa Tengah dan 23,3% Bali. Survei ini menunjukkan minat tinggi masyarakat dalam penggunaan PLTS atap. Kendati begitu, ketika melihat kembali faktor-faktor ekonomi layaknya besaran penghematan, biaya instalasi, dan waktu pengembalian modal, masyarakat harus berpikir dua kali terhadap penggunaan PLTS tersebut. Mayoritas dari mereka ingin menghemat separuh dari tagihan listrik mereka saat ini, dengan periode balik modal di bawah 7 tahun. Masyarakat merasa biaya instalasinya memerlukan biaya tidak sedikit. Indonesia masuk kategori terendah di Asia Pasifik dalam hal pemanfaatan energi surya.
Belajar dari Tren Sebelumnya
Diperlukan beberapa upaya dan kebijakan dari pemerintah agar tren penggunaan PLTS terus diminati. Pemerintah mulai memberlakukan tarif ekspor-impor listrik pelanggan PLTS dan PLN sebesar 100%, yang sebelumnya hanya 65%. Perubahan tarif ini dapat menurunkan periode balik modal 1-2 tahun menjadi di bawah 8 tahun. Pemerintah juga perlu menyediakan skema pembiayaan yang menarik seperti cicilan berbunga rendah, insentif keuangan, ataupun perpajakan. Insentif ini dapat menjadi contoh untuk merangsang minat warga terhadap pengunaan PLTS tersebut. Selain kebijakan-kebijakan tersebut, pemerintah diharapkan gencar melaksanakan sosialisasi dan penyebaran informasi terkait penyediaan produk PLTS tersebut. Harapannya, akses masyarakat terhadap penggunaan energi surya ini merata ke seluruh kota.