Membangun Pola Pikir Teknopreneur
Bisnis startup sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat kita. Lonjakan jumlah perusahaan berbasis teknologi yang menghadirkan berbagai macam aplikasi dengan fitur-fitur menarik menandakan industri startup di Indonesia sedang berkembang pesat. Faktanya, Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki startup terbanyak. Sehingga tidak heran banyak orang kini berlomba-lomba untuk membangun startup karena Indonesia amat berpotensi menjadi the next unicorn di dunia. Namun tentu saja ini bukan perkara mudah yang bisa dilakukan dalam waktu singkat. Utamanya dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk dapat menciptakan bisnis startup unicorn.
Seperti juga yang dipaparkan oleh Aldi Adrian Hartanto, Vice President of Investments MDI Ventures, bahwa kesuksesan sebuah startup pada dasarnya terletak pada sang founder. MDI Ventures sendiri memiliki empat kriteria terhadap para founder untuk menentukan apakah akan berinvestasi pada startup-nya atau tidak. Pertama adalah hard skill. Tentu saja seorang founder harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang produk atau servis yang ditawarkan. Aldi menjelaskan, “Di samping hard skill sebenarnya hal yang lebih mendasar adalah soft skill. Kami selalu mencari seseorang yang punya obsesi terhadap masalah yang ingin diselesaikannya. Sehingga ia akan berupaya keras untuk mencari solusi.” Interpersonal skill juga tidak kalah penting. Seorang founder harus bisa meyakinkan investor, klien dan tentu saja para calon konsumen. Tidak berhenti di sana, integritas juga merupakan poin penting yang harus ada dalam diri seorang pemimpin startup. Jika kemampuan-kemampuan tersebut sudah dimiliki, selebihnya hanya tinggal soal membangun chemistry dengan investor.
Di samping hard skill sebenarnya hal yang lebih mendasar adalah soft skill. Kami selalu mencari seseorang yang punya obsesi terhadap masalah yang ingin diselesaikannya. Sehingga ia akan berupaya keras untuk mencari solusi
Agar dapat memenuhi kualifikasi tersebut seorang teknopreneur pada dasarnya harus dapat membentuk pola pikirnya terlebih dahulu. Menanamkan problem-solving mindset adalah kuncinya. Artinya mereka harus bisa berpikir masalah apa yang ada di sekitar dan solusi terbaik apa yang bisa menyelesaikan masalah tersebut. Tidak hanya sekadar memahami teori melainkan juga dapat melakukan implementasi terhadap teori tersebut secara praktikal. Sehingga ia dapat menemukan solusi terbaik untuk satu masalah tertentu. Berdasarkan pengalaman Aldi, ia membentuk problem-solving mindset semenjak berkuliah di Sampoerna University. “Di Sampoerna University, kami tidak hanya diajarkan teori tapi juga praktik. Kami seringkali dilibatkan dalam studi kasus dan harus mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Tidak ada jawaban benar atau salah sehingga kami diajarkan untuk menggali berbagai cara untuk menyelesaikan satu masalah sesuai dengan pemahaman masing-masing,” terang Aldi. Menariknya lagi, para mahasiswa juga diberikan kesempatan untuk menjajal dunia kerja sedari masih berkuliah. Di semester tujuh, mahasiswa diberikan waktu khusus untuk magang tanpa ada perkuliahan yang harus diikuti. Aldi menambahkan, “Setelah program magang hampir usai, saya ditawari perusahaan untuk lanjut bekerja sebagai karyawan. Mungkin kalau tidak diberikan kesempatan magang saat itu, saya tidak akan sampai pada posisi sekarang ini.”
Tidak ada jawaban benar atau salah sehingga kami diajarkan untuk menggali berbagai cara untuk menyelesaikan satu masalah sesuai dengan pemahaman masing-masing
Para teknopreneur dengan problem-solving mindset nantinya dapat dengan cakap menjalani siklus lean startup di mana mereka harus melewati fase build, measure dan learn atau pivot. Mereka dapat melihat adanya isu yang mereka percaya terdapat solusi untuk menyelesaikannya. Sehingga pertama mereka akan dapat membangun (build) hipotesis akan sebuah produk atau servis. Contohnya GO-JEK yang membangun hipotesis akan dua masalah yang datang dari para tukang ojek dan pengguna ojek. Dari sisi pengguna, masalah utama adalah harga yang kurang jelas, tidak sama antara satu ojek dengan ojek lain dengan jarak tertentu. Selain itu mereka juga harus mencari-cari ojek ke pangkalan dan tidak selalu tersedia. Sedangkan dengan aplikasi GO-JEK para pengguna bisa mendapat harga yang pasti, tukang ojek bisa menjemput dan adanya servis yang lebih baik daripada tukang ojek pangkalan seperti tersedianya helm, penutup kepala dan masker. Sementara dari sisi tukang ojek, mereka tidak produktif selama menunggu di pangkalan. Belum lagi pendapatan yang tidak jelas setiap harinya. GO-JEK memberikan mereka solusi untuk memiliki pendapatan yang lebih stabil, serta produktivitas tinggi karena bisa lebih mudah
“Langkah yang perlu dilakukan setelah membangun hipotesis adalah measure atau melakukan analisis untuk mengukur apakah hipotesis itu dapat diterima kedua belah pihak atau tidak, masih ada servis yang kurang atau tidak dan sebagainya. Biasanya ini dijadikan waktu refleksi oleh para teknopreneur. Jika mereka melihat ke belakang dan merasa percaya diri dengan produknya berarti mereka sudah ada di jalan yang benar,” ungkap Aldi lagi. Setelahnya barulah startup bisa melansirkan produk atau servisnya ke masyarakat. Akan tetapi perjuangan tidak berhenti. Para teknopreneur akan melewati fase learn atau pivot di mana akan ada masalah-masalah baru yang menjadi pelajaran bagi mereka. Pelajaran tersebut tidak jarang akan mengantarkan mereka pada pivot yang mana mereka harus melakukan perubahan di salah satu atau beberapa aspek startup-nya.
Siklus ini adalah proses terus berkelanjutan, tidak pernah usai. Inovasi diciptakan tidak hanya sekali, dua kali. Apalagi di zaman hampir semua industri mengalami digitalisasi. Perubahan dalam dunia bisnis sangatlah cepat. Dulu perusahaan merancang corporate plan untuk lima tahun ke depan. Sekarang tidak lagi demikian. Corporate plan dirancang untuk satu bulan atau bahkan satu minggu ke depan. Perilaku masyarakat juga cepat sekali berubah. Dulu mereka lebih memilih nonton TV ketimbang Youtube atau Netflix. Dulu sulit menjadi artis sekarang jadi arti bisa lewat media sosial. Jadi seorang founder startup harus bisa terus jeli melihat adanya masalah serta solusi untuk masalah tersebut di segala situasi agar dapat terus tercipta inovasi baru.
Perubahan dalam dunia bisnis sangatlah cepat. Dulu perusahaan merancang corporate plan untuk lima tahun ke depan. Sekarang tidak lagi demikian.