Jepang Gencarkan Digital Farming Untuk Jaga Ketahanan Pangan

Disrupto-2021-July-Japan-Farm-Tech.jpg

Permasalahan sumber pangan ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di berbagai belahan dunia lain seperti negara Jepang, berbagai masalah di industri pertanian timbul dari faktor geologis dan kurangnya jumlah petani. Dua pertiga area wilayah Jepang merupakan daerah pegunungan sehingga sulit untuk dibuat lahan pertanian. Sementara itu dari tahun ke tahun jumlah petani pun menurun dan menyisakan petani dengan rata-rata umur 60an. Oleh karena itu, Jepang pun mencari solusi untuk dapat meningkatkan ketahanan pangan hingga 45% hingga 2030.

Menggerakan Program Smart Agriculture

Smart agriculture dipertimbangkan dapat menunjang berbagai program yang dibuat untuk menciptakan ketahanan pangan yang lebih kohesif. Sejak 2016, Jepang telah mengembangkan digital farming yang memanfaatkan sistem teknologi Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), dan Big Data. Serangkaian sistem tersebut diaplikasikan untuk menciptakan inovasi teknologi di bidang pertanian. Contohnya robot yang dapat memudahkan dan mempercepat pekerjaan petani, atau satellite imaging untuk mengawasi penggunaan air, pupuk tanaman, dan kondisi tanah secara real time

Di samping itu, pemanfaatan AI juga dianggap cukup berperan penting dalam mempertahankan kualitas hasil panen. Sistem AI umumnya digunakan untuk memberikan informasi pada para petani untuk memilih bibit berkualitas dan pemilihan hasil tani yang siap dipanen. Terlebih lagi, sistem AI yang digabungkan dengan IoT dipercaya dapat meningkatkan teknik Fertigation. Teknik pertanian ini biasa digunakan para petani untuk mengatur penggunaan air serta pupuk agar dapat menumbuhkan tanaman dengan jumlah yang cukup.

Manfaat Digital Farming

Berbagai implementasi digital farming tersebut dipercaya tidak hanya dapat mempercepat pekerjaan petani untuk mengelola pertanian sehingga dapat mencapai stabilitas ekonomi. Praktik ini juga dapat mencegah terjadinya krisis air yang sering disebabkan oleh sektor pertanian karena penggunaan air berlebih. Dengan sistem IoT dan AI yang mempercepat teknik pertanian fertigation, petani yang belum berpengalaman sekalipun dapat mengelola pertanian lebih efisien. Data yang didapatkan oleh sistem AI dapat menentukan seberapa banyak jumlah air dan pupuk yang diperlukan satu tanaman secara spesifik. Dengan demikian, praktik agrikultur dapat lebih sustainable atau ramah lingkungan dan berkelanjutan. 

UN Food and Agriculture Organisation (FAO) memprediksi bahwa industri pertanian harus dapat memproduksi 70% makanan lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan populasi dunia yang mencapai 9,6 milyar orang pada 2050. Akan tetapi untuk menjaga kestabilan alam dan pelestarian alam, penambahan jumlah lahan pertanian hanya boleh meningkat 5%. Maka, digital agriculture dipercaya dapat mendorong terjadinya sustainability revolution di mana segala isu tersebut dapat diselesaikan. 

Previous
Previous

Jaringan 5G Dorong Inovasi Augmented Reality

Next
Next

Pandemi Ubah Konsep Ruang Kantor, Jadi Seperti Apa?