Peran Facebook Dalam Fenomena Hoax

Ilustrasi oleh Disrupto

Ilustrasi oleh Disrupto

Peran media sosial dalam politik dinilai cukup besar dalam penyebaran kampanye pemilihan presiden. Sayangnya, para pengembang aplikasi media sosial belum benar-benar membuat fitur yang dapat membatasi privasi para pengguna. Facebook dikabarkan menjadi salah satu media sosial yang banyak menyebarkan kesalahan informasi terutama yang terkait dengan politik pemerintahan.

Pelanggaran privasi terbesar dalam sejarah Facebook adalah skandal data Facebook oleh Cambridge Analytica, lembaga konsultan asal Inggris yang bekerja pada kampanye pemilihan Presiden Donald Trump 2016. Ketika puluhan juta data pribadi orang Amerika tersebar, data yang bocor tersebut dimanfaatkan dan dijual ke politikus Amerika. Skandal Cambridge Analytica memicu krisis publisitas terbesar di Facebook. Ini tentu menjadi kekhawatiran besar bagi para pengguna karena mereka meyakini bahwa algoritma Facebook menentukan apa yang akan tampil di setiap akun pengguna. Dengan kata lain, mereka beranggapan bahwa Facebook dengan sengaja menyebarkan berita palsu dan ujaran kebencian untuk memajukan bisnis.

Bagaimana solusi Facebook menghadapinya?

Mike Schroepfer, Chief Technology Officer Facebook, meminta Joaquin Quiñonero Candela, direktur AI di Facebook untuk membentuk tim dengan tugas yang berbeda, yaitu untuk mencari tahu dampak sosial dari algoritma Facebook. Kelompok itu dinamakan Society and AI Lab (SAIL). Kelompok ini bekerja pada masalah privasi data dan merancang AI yang bertanggung Jawab. Quiñonero adalah pembuat algoritma pertama untuk menargetkan pengguna mendapatkan konten yang sesuai dengan minat mereka. Sekarang yang ia harus lakukan adalah membuat algoritma tersebut menjadi tidak berbahaya. Tantangannya adalah menyaring informasi yang salah dan ujaran kebencian dari milyaran konten per hari.

Apa hasilnya?

Kekhawatiran tentang penyebaran kebohongan dan ujaran kebencian di Facebook justru semakin meningkat dikarenakan Facebook masih belum bisa mengontrol algoritma tersebut. Beberapa contoh ialah, kampanye anti Muslim di Myanmar dan gerakan konspirasi QAnon. Semua kesalahan yang berbahaya ini menyebar berkat kemampuan AI yang telah dibangun oleh Quiñonero. Algoritma seperti ini sangat mendukung bisnis Facebook. Namun, algoritma tidak dirancang untuk menyaring apa yang salah atau menghasut. Sebaliknya sistem ini dirancang untuk membuat orang berbagi konten secepat dan sebanyak mungkin.

Quiñonero menekankan bahwa AI sering kali disalahkan dan digambarkan secara tidak adil, bahwa AI selalu dianggap sebagai pelaku kejahatan. Seharusnya, setiap orang bisa menyaring informasi dan tidak menelannya mentah-mentah. Apabila konten tergolong kebohongan dan ujaran kebencian, maka seharusnya pengguna bisa menolak dan tidak percaya pada berita tersebut. Yang terjadi justru sebaliknya, mereka akan tetap menyebarkan konten tersebut kepada banyak orang.

Previous
Previous

Suzuki Tambah Investasi Untuk Mobil Mild Hybrid

Next
Next

Gadget Picks: Smartphone 5G Lebih Baik