Merekam Lagu Tanpa Penyanyi

Disrupto-Article4-AIMUSIC.jpg

Tak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi semakin memungkinkan hal-hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi. Salah satunya adalah menciptakan dan merekam sebuah lagu untuk penyanyi yang telah wafat. Terdengar mengerikan? Ya, memang.

Berbekal pendekatan deep learning yang merupakan percabangan dari AI (artificial intelligence – red.), komputer bisa diajarkan untuk melihat atau mendengarkan berbagai data sebelum menjadi cepat memproses dan memahaminya. Kemampuan deep learning ini lah yang kemudian dimanfaatkan banyak orang untuk membuat sebuah informasi palsu, seperti video seseorang yang diganti wajahnya atau rekaman suara seseorang membacakan atau menyanyikan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah mereka lakukan atau katakan. Inilah yang kemudian disebut sebagai deepfake.

Suara layaknya sidik jari, unik dan sangat bersifat personal. Ciri khas suara seseorang memiliki keterikatan terhadap diri setiap individu yang berasal dari campuran fisiologi, biologi, kebiasan, dan latar belakang sosial budaya. Menurut sejarahnya bahkan suara dianggap sebagai sebuah ekspresi dari jiwa manusia.

Teknologi untuk mereproduksi suara manusia selalu mendapatkan perhatian khusus dari masa ke masa. Pada akhir abad 19, Thomas Alva Edison menjadi orang yang pertama kali mampu “memisahkan” suara dari tubuh manusia. Ia menciptakan fonograf pada tahun 1877, yakni sebuah mesin yang mampu merekam dan memutarkan kembali suara. Pada masa itu, proses perekaman suara seperti ini dianggap sebagai sebuah terobosan mutakhir dalam mengabadikan manusia setelah meninggal dunia lewat suara. Namun penemuan ini bukanlah hadir tanpa kontroversi, salah satunya adalah komposer John Philip Sousa yang cukup vokal menyerukan bahwa rekaman suara – yang ia sebut sebagai ‘musik mekanis’ – akan menjadi pengganti keahlian, kecerdasan, dan jiwa manusia.

Kini kita diperkenalkan dengan teknologi deepfake yang memungkinkan untuk merekam suara seseorang hanya dengan mempelajari pola bicara dan data kosakata yang pernah ia ucapkan sebelumnya. Sebuah terobosan memang, namun lagi-lagi inovasi ini hadir bukannya tanpa kontroversi. Kemampuan deepfake dalam menciptakan suara seseorang yang cukup meyakinkan akan menuai masalah mengenai isu kepercayaan dan otentisitas. Salah-salah, teknologi ini malah digunakan untuk kepentingan yang tidak benar – menciptakan hoax misalnya.

Namun terlepas dari kemungkinan penyalahgunaan, deepfake membawa banyak harapan bagi industri musik di masa depan. Meski belum terdengar sempurna, namun rekaman audio hasil karya deepfake perlahan-lahan semakin meyakinkan. Bahkan saking meyakinkannya baru-baru ini, Jay-Z melalui agensinya Roc Nation menuntut seorang kreator yang menyusun algoritma suaranya dan menciptakan beberapa rekaman audio dirinya melantunkan rap dengan beragam teks salah satunya adalah teks dari Kitab Kejadian (Book of Genesis – red.)

Contoh lain perkembangan audio deepfake dipertunjukkan oleh OpenAI, sebuah perusahaan AI nirlaba yang didanai salah satunya oleh Elon Musk. Melalu sistem barunya yang diberi nama Jukebox, OpenAI membuat sebuah jaringan saraf tiruan (artificial neural network – red.) yang mampu menghasilkan komposisi musik termasuk vokal dalam berbagai genre musik dan gaya penyanyi.

Berbekal dataset dari 1.2 juta lagu yang didapatkan tim OpenAI, mereka menghubungkan lagu dengan lirik dan metadata dari LyricWiki hingga mampu melatih sistem tersebut untuk menciptakan komposisi musiknya sendiri.

Hasilnya cukup mencengangkan, coba buktikan dengan mendengarkan contoh komposisi lagu Natal dengan lirik agak ‘nyentrik’ yang dinyanyikan dengan gaya Frank Sinatra berikut ini.

Inovasi ini kemudian memunculkan berbagai masalah yang harus dipecahkan. Salah satunya adalah mengenai hak cipta terutama jika suara yang digunakan adalah milik seseorang yang telah dikenal khalayak dan merupakan sebuah hak kekayaan intelektual.

Pada akhirnya, meski banyak reaksi atas perkembangan audio deepfake ini, sama seperti inovasi teknologi lainnya bahwa potensi sistem musik AI akan menjadi baik atau buruk bagi kehidupan manusia sepenuhnya tergantung pada kita yang menentukan akan digunakan sebagai apa. Meski bisa disalahgunakan, namun sesungguhnya teknologi ini justru berpotensi menambah nilai – dibandingkan jika dianggap sebagai pengganti kemampuan manusia.

Previous
Previous

Tom Cruise Segera Mengangkasa

Next
Next

Ledakan Bisnis On-Demand Delivery