Ledakan Bisnis On-Demand Delivery

D-Journal-16-UsahaDelivery-01.jpg

Sebelum ini, bisnis on-demand delivery masih mencoba menerka-nerka pasar dan sibuk menarik konsumen untuk mulai beralih dari kebiasaan membeli barang atau jasa langsung ke tempatnya menuju metode delivery. Semua usaha itu langsung terwujud dalam waktu sangat singkat – karena pandemi corona.

Diperkirakan sepertiga populasi dunia saat ini tengah berada di dalam tempat tinggalnya dan melaksanakan swakarantina. Oleh karenanya, servis seperti delivery bahan pangan, obat-obatan, makanan, dan kebutuhan pokok lainnya menjadi begitu meningkat. Bahkan Amazon yang dikenal sebagai jagoan logistik pun mengaku kewalahan menerima pesanan yang melonjak drastis. Seakan-akan seluruh dunia memesan delivery secara bersamaan.

Perusahaan-perusahaan on-demand delivery ini telah lama menjanjikan teknologi mereka untuk dapat berkembang seiring popularitasnya. Sekarang, pandemi ini memberi mereka kesempatan untuk membuktikannya. Hanya dalam hitungan satu bulan, on-demand delivery telah berubah dari sebuah servis luxury menjadi kebutuhan mendasar sehari-hari.

Tanda-tanda perubahan pola konsumsi melalui on-demand delivery ini mulai terlihat saat di awal Maret Amazon menghentikan sementara pengiriman produk non-essentials dari pihak ketiga untuk memberikan ruang di gudang mereka untuk barang-barang dari kategori essentials seperti produk bayi, kesehatan dan rumahtangga, kecantikan dan perawatan tubuh, kebutuhan pokok, industri dan sains, serta kebutuhan hewan peliharaan.

D-Journal-16-UsahaDelivery_3.jpg

Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Meski tidak membuka angkanya, Tokopedia mengungkapkan adanya kenaikan transaksi perdagangan melalui aplikasi digital mereka sejak PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar – red.) diterapkan pemerintah pada April 2020.

Sementara itu, BukaLapak melalui Senior Corporate Communications Manager-nya, Gicha Graciella menyampaikan bahwa pada platform e-commerce tersebut terdapat kenaikan hingga 20 persen pada Maret 2020 yang disebabkan oleh peningkatan permintaan produk bahan-bahan pokok yang mencapai hingga tiga kali lipat, produk makanan dan minuman sebesar dua kali lipat, dan berbagai produk obat-obatan sebesar 30 persen.

Dari semuanya dapat terlihat bahwa kebutuhan pokok (grocery) menjadi “juara” di seluruh platform – baik online maupun offline. Seiring dengan imbauan swakarantina di berbagai tempat, konsumen yang panik segera memborong seisi rak supermarket hingga-hingga berbagai supermarket segera memasang pembatasan transaksi untuk produk-produk seperti hand sanitizer, mie instan, minyak goreng, dan sebagainya. Sementara itu, bisnis online yang menawarkan pengiriman segera pun turut kewalahan hingga harus menerapkan sistem daftar tunggu bahkan hingga hitungan minggu seperti yang dialami oleh HappyFresh, Sayurbox, dan Tanihub.

Kebutuhan pokok online telah lama menjadi “kolam pancing” bagi banyak bisnis delivery mengingat barang-barang tersebut dibutuhkan oleh setiap rumah tangga dan selalu dibeli dalam waktu yang rutin. Hal tersebut menjadikan kategori kebutuhan pokok sebagai kategori utama bagi setiap perusahaan ritel untuk menjaring konsumennya agar terus kembali berbelanja.

Permasalahannya, menjual kebutuhan pokok secara online lebih sulit dibandingkan produk lainnya. Makanan segar perlu disimpan dengan temperatur yang spesifik dan diantarkan segera sebelum rusak. Untuk itu dibutuhkan setidaknya gudang penyimpanan yang canggih dengan manajemen stok yang baik atau toko bahan pokok tradisional dengan staf khusus untuk memilih dan mengemas pesanan untuk dikirimkan ke konsumen. Kedua opsi ini tidaklah murah bagi bisnis.

Selain permasalahan logistik tadi, satu hal lagi yang harus diperhatikan oleh bisnis on-demand delivery – terutama untuk kebutuhan pokok – adalah kebiasaan-kebiasaan konsumen saat berbelanja secara offline yang sulit diubah. Misalnya saja, masih banyak konsumen yang lebih suka memilih sayur-sayurannya sendiri. Atau toleransi mereka terhadap pesanan yang kurang karena ketidaktelilitan staf saat membelanjakan barang.

Membawa Restoran Ke Rumah

D-Journal-16-UsahaDelivery_2.jpg

Selain kebutuhan pokok, bisnis on-demand delivery juga bergerak cukup kencang di industri restoran dalam beberapa tahun belakangan – yang salah satunya disebabkan gencarnya GO-JEK dengan servis GO-FOOD milik mereka. Disusul Grab yang juga menawarkan servis serupa dengan nama GrabFood. Meski begitu, sebenarnya jauh sebelum kedua pemain ini besar, sudah ada Foodpanda dan Klik-eat yang memulai layanan on-demand delivery untuk makanan dari restoran di pertengahan era 2010-an.

Fenomena food delivery ini terbukti dengan laporan dari GO-JEK bahwa GO-FOOD kini berkontribusi cukup besar dalam bisnis mereka bahkan hampir menyamai layanan GO-RIDE dan GO-CAR yang menjadi core business. Hal ini dipercaya terjadi karena kondisi jalanan di kota-kota besar yang semakin macet sehingga menyebabkan makin banyaknya orang yang malas untuk keluar rumah atau tempat aktivitas untuk mencari makan. Selain itu, promo-promo yang agresif dari bisnis juga mendorong pertumbuhan tersebut.

Kini saat pandemi, food delivery juga diperkirakan akan menjadi salah satu tulang punggung bagi bisnis GO-JEK dan Grab karena pembatasan sosial memaksa kedua platform ini untuk menghilangkan servis ride-hailing kendaraan roda dua dan permintaan dari konsumen yang akan meroket mengingat mereka tidak bisa keluar rumah untuk makan di restoran favorit.

Meskipun begitu food delivery bukannya hadir tanpa masalah saat pandemi sekarang. Permintaan yang ada sepertinya masih belum bisa dipasok dengan jumlah yang sesuai berhubung beberapa bisnis food and beverage seperti restoran, rumah makan, dan kafe mengurangi waktu operasional dan memangkas jumlah tenaga kerjanya secara cukup signifikan.

Bagaimana Setelah Ini?

Banyak yang sudah memprediksi bahwa setelah pandemi ini, kehidupan kita tidak akan menjadi normal dalam waktu cepat, atau bahkan buruknya tidak akan normal sama sekali. Lalu bagaimana dnegan nasib bisnis on-demand delivery? Dalam jangka pendek, bisa dibilang bisnis ini masih akan tetap bertahan. Selama masyarakat masih diimbau menjalankan swakarantina atau pembatasan sosial untuk menekan laju penyebaran virus, servis seperti delivery masih akan menjadi hal yang esensial dalam kehidupan kita sehari-hari.

Meski nantinya aturan sudah diperlonggar, mungkin masih akan ada banyak konsumen yang tetap khawatir dan ragu untuk berbelanja langsung ke supermarket atau pasar dan membilih memesan secara online. Begitu pula dengan restoran dan rumah makan. Saat mulai diperbolehkan untuk kembali beroperasi seperti sedia kala, mereka pasti akan mengalami kesulitan untuk kembali ke kapasitas semula jika masih ada keharusan untuk melakukan pembatasan sosial.

Sesungguhnya sulit untuk menebak masa depan “ledakan” bisnis delivery setelah masa pandemi ini karena kita saat ini berada di masa-masa yang tak menentu. Bisa saja kemudian setelah berbulan-bulan dipaksa berada di rumah, konsumen kemudian segera tak sabar untuk kembali menikmati makanan langsung di restoran favorit mereka atau langsung kembali ke pasar untuk memilih-milih sayur secara langsung. Karena sesungguhnya teknologi untuk gaya hidup “introver” seperti saat ini telah ada sejak beberapa tahun belakangan, tetapi memang bukan pilihan kebanyakan orang.

Salah satu alasan supermarket online akan sedikit sulit bersaing adalah layanannya yang terbatas. Jika supermarket offline bisa memiliki barang hingga 33.000 jenis, versi online-nya biasanya hanya mencapai sekitar 20.000 jenis. Selain itu, supermarket online juga terkadang hanya memiliki 90%-95% produk yang tersedia untuk dibeli.

Previous
Previous

Merekam Lagu Tanpa Penyanyi

Next
Next

Redam Panas Dengan Atap Putih