Cegah Pemanasan Global Dengan Daging Alternatif

D-Journal-8-DagingAlternatif-web-01.jpg

Selama ini jika berbicara mengenai pemanasan global, kita akan langsung menempatkan pabrik, industri besar, dan kendaraan bermotor sebagai kontributor utamanya. Memang, pembakaran bahan bakar fosil menjadi pencetus emisi yang menyebabkan pemanasan global pada bumi. Namun sebuah fakta mengejutkan menunjukkan bahwa sektor peternakan ikut menyumbang pemanasan global.

Menurut badan pangan internasional FAO, peternakan berkontribusi sebesar 14.5% terhadap emisi rumah kaca di mana 65%-nya berasal dari pertenakan sapi. Hal ini disebabkan oleh adanya gas metana yang dikeluarkan oleh hewan ternak – terutama sapi – dari sendawa, kentut, dan kotoran. Selain itu, karbon dioksida yang juga merupakan pencetus pemanasan global terlepas ke atmosfer setiap kali hutan dipangkas demi membuat area-area peternakan yang luas untuk memenuhi kebutuhan permintaan atas daging dari pasar seluruh dunia.

Peternakan berkontribusi sebesar 14.5% terhadap emisi rumah kaca di mana 65%-nya berasal dari pertenakan sapi.

Seiring lonjakan penduduk dunia di tahun-tahun mendatang, permintaan untuk daging sebagai bahan pangan akan terus meningkat. Berdasarkan laporan FAO, permintaan daging di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah saja akan meningkat 80% pada 2030 dan melonjak hingga melampaui 200% saat mencapai 2050 nanti. Belum lagi di negara-negara maju, permintaannya pun tak kalah banyaknya. Bayangkan betapa banyak lahan hijau yang harus dikorbankan untuk memenuhi permintaan ini.

Skenario buruk yang akan dihadapi apabila peternakan terus digenjot demi memenuhi permintaan daging pada 2050 adalah meningkatnya pemanasan global secara eksponensial. Untuk itu, sekelompok ilmuwan dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Intergovernmental Panel on Climate Change mencetuskan bahwa pergeseran konsumsi protein hewani menuju nabati (plant-based diet – red.) merupakan langkah strategis dalam memitigasi dan beradaptasi pada perubahan iklim.

Pergeseran konsumsi protein hewani menuju nabati (plant-based diet – red.) merupakan langkah strategis dalam memitigasi dan beradaptasi pada perubahan iklim.

Namun sayangnya, kebanyakan dari kita masih belum dapat melepaskan hasrat untuk menyantap daging hewan karena kebiasaan yang telah berlangsung sejak lama. Untuk menyiasatinya, beberapa perusahaan muncul dengan inovasi dalam produk “daging” yang terbuat dari bahan-bahan nabati. Ya, Anda tidak salah membaca. Daging – namun bukan daging.

Raw Beyond Burger Meat.jpg

Produk “daging” di Beyond Meat dibuat menggunakan kacang polong sebagai bahan utamanya

Di seluruh dunia saat ini telah ada sekitar 160 perusahaan yang aktif mengembangkan daging buatan sebagai bahan pangan masa depan. Namun dari ratusan perusahaan tersebut, ada beberapa nama yang cukup menonjol di antaranya Impossible Foods dan Beyond Meat. Kedua brand ini menjadi nama yang berperan penting dalam perkembangan daging alternatif di dunia karena produknya yang cukup realistis. Impossible Food menjamin bahwa “daging” produksi mereka akan mengeluarkan “darah” layaknya daging dari hewan. Meski begitu, “daging” yang mereka ciptakan berasal dari gandum, minyak kelapa, kentang, dan bumbu rahasia – leghemoglobin, yakni suatu protein dalam kacang kedelai yang mengandung besi seperti hemoglobin pada sel darah merah.  Sementara Beyond Meat menggunakan tambahan buah bit untuk menciptakan “darah” pada produk-produknya dan “daging” produksi mereka akan berubah warna persis seperti kita memasak daging hewan.

Beyond Burger_Cooking.jpg

“Daging” nabati ini juga dapat berubah warna saat matang, persis seperti daging dari hewan

Menariknya, daging bebas-hewan tidak hanya dapat diambil melalui insiatif dari nabati, namun juga “daging” yang ditumbuhkan dari sel hewan dalam laboratorium. “Daging” dari sel hewan ini baru dikembangkan belakangan oleh beberapa perusahaan seperti Mosa Meats dan Memphis Meats. Meski begitu, biaya produksi untuk “daging” yang ditumbuhkan dari sel ini lebih mahal dibandingkan yang dibuat dari protein nabati.

KFC menjadi salah satu jaringan fast-food yang telah mengadopsi “daging” alternatif ke dalam menunya.

KFC menjadi salah satu jaringan fast-food yang telah mengadopsi “daging” alternatif ke dalam menunya.

Perjalanan menuju sumber pangan berkelanjutan masih sangat panjang mengingat permintaan “daging” alternatif yang masih sedikit karena kesadaran yang masih rendah, belum banyaknya produsen, hingga masih tingginya biaya produksi yang menjadi tidak menarik untuk konsumen. Namun mengingat pergeseran bahan pangan hewani ke nabati menjadi salah satu cara untuk dapat menekan laju pemanasan global, sepertinya butuh upaya dari industri maupun masyarakat untuk bisa menyelesaikan masalah ini bersama-sama agar tercipta masa depan dunia yang lebih baik.

Previous
Previous

Teleskop Raksasa Di Bulan

Next
Next

Menata Ulang Kota Setelah Corona