Clubhouse: Investasi Atau Tren Sesaat?
Media sosial dengan fitur live audio, Clubhouse, ramai menjadi perbincangan di awal 2021. Berbagai prediksi tentang popularitasnya di Indonesia pun terus bermunculan. Tidak heran, media sosial yang satu ini belum satu tahun. Bisa dibilang, Clubhouse juga bukan wadah untuk bersosial seperti media sosial lainnya. Akan tetapi, kehadirannya di tanah air dan di dunia tampaknya menjadi obat akan sulitnya interaksi antara sesama manusia. Sebelum pandemi, para pelaku industri bisa berkumpul dalam berbagai acara. Kini karena adanya pembatasan, Clubhouse dianggap jadi ruang alternatif untuk berjaringan.
Christopher Angkasa, CEO CoHive, salah satu penyedia co-working space dan komunitas terbesar di Indonesia, memberikan pendapat bahwa masyarakat bergabung dalam Clubhouse bukan untuk mencari hiburan, melainkan mencari inspirasi atau untuk belajar sesuatu. Strategi Clubhouse yang sengaja diedarkan di lingkup profesional jadi langkah membentuk pasar dan kontennya. “Gelombang pertama yang menggunakan Clubhouse adalah para profesional. Kemudian barulah merambah ke kalangan influencer, selebriti, baru kemudian masyarakat umum,” jelasnya lagi.
Menurut Chris, media sosial memiliki tiga komponen untuk menarik pengguna. Pertama adalah komponen visual. Media sosial dengan komponen ini biasanya hanya berbasis pada tulisan saja, seperti Twitter. Kedua adalah komponen audio visual seperti YouTube, Instagram, dan TikTok. Yang ketiga adalah audio seperti Spotify yang menawarkan podcast. Akan tetapi, podcast masih memiliki kelemahan yaitu di bagian discovery atau pencarian. Para pengguna Spotify harus tahu apa yang ingin mereka dengar baru mencari. Hanya podcast-podcast yang sudah terkenal dan trending saja yang muncul di bagian eksplorasi.
Inilah mengapa Clubhouse dinilai memiliki potensi untuk melengkapi kebutuhan pasar. Ia mengambil pasar radio yang sampai sekarang eksistensinya masih terbilang cukup bagus. Terlebih lagi, konten-konten yang ada di Clubhouse dibuat secara live. Jadi berbeda dengan podcast yang berupa rekaman. Para pengguna bisa merasa terlibat langsung dalam percakapan. Kalau ke depannya Clubhouse bisa diintegrasi ke dalam radio di dalam mobil, pasti bisa sangat canggih dan pesat pengembangannya. Walaupun begitu Chris juga menambahkan bahwa kontennya akan seperti apa ke depannya, belum bisa diprediksi. Masih banyak kemungkinan popularitasnya menurun karena kontennya yang kurang tepat dengan pasar.
Meski ke depannya ada potensi, saat ini engagement atau keterlibatan pengguna di Clubhouse masih dalam taraf personal. Artinya, Clubhouse dinilai belum efektif untuk menjadi channel marketing sebuah brand. Hal yang paling mungkin dilakukan sekarang adalah menggunakan influencer yang memiliki profil tepat dengan brand sehingga ia bisa jadi “distributor” produk atau jasanya. Tapi cara ini pun sebenarnya belum benar-benar bisa dinilai cukup tepat sasaran karena sampai saat ini yang bisa mengakses Clubhouse hanya pengguna iPhone. Ini berarti Clubhouse belum mencakup jangkauan pasar yang luas.