Dari Sampah Jadi Emas

D-Journal-23-Emas dari sampah-02.jpg

Setiap tahunnya ada sekitar 50 juta ton sampah elektronik yang dihasilkan oleh penduduk bumi. Jumlah ini setara dengan 4.500 Menara Eiffel atau 125.000 pesawat jumbo jet — mencengangkan, bukan? Sampah-sampah ini berasal dari komputer-komputer tua, layar-layar televisi dan LCD yang dibuang, hingga ponsel-ponsel yang telah rusak. Sampah elektronik ini menjadi jenis sampah dengan tingkat pertumbuhan yang paling cepat di dunia. Sayangnya, ini berarti semakin menurunkan jumlah bahan logam yang dibutuhkan untuk pasokan benda elektronik berikutnya.

Dengan semakin tergantungnya manusia pada teknologi, ada kebutuhan untuk mengurangi sampah elektronik agar pasokan bahan logam yang dibutuhkan bisa terjaga jumlahnya. Solusinya? Mikroba. Makhluk mikroskopik ini dapat mengekstraksi metal seperti kobalt, emas, dan platina dari gadget yang selama ini kita buang ke tempat pembuangan sampah.

“Mikroba dapat memfasilitasi beberapa proses yang seharusnya membutuhkan temperatur tinggi dan kondisi ekstrem lainnya,” ujar Anna Kaksonen, seorang pemimpin riset Biotechnology and Synthetic Biology Group dari Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation, badan riset sains nasional milik Australia. “Dalam beberapa kasus, penguraian dengan mikroba ini lebih ramah lingkungan dibandingkan proses pirometalurgi atau hidrometalurgi yang tradisional.”

Pirometalurgi merupakan proses ekstraksi logam dengan menggunakan panas, sementara hidrometalurgi menggunakan cairan kimia. Sementara itu, bioleaching memanfaatkan mikroba untuk melakukan proses ekstraksi. Teknik ini bukanlah suatu teknik yang baru karena operator tambang menggunakan teknik tersebut untuk mengekstraksi logam dari ore. Namun bioleaching belum digunakan secara umum pada pengolahan sampah elektronik karena prosesnya yang memakan waktu lebih lama dibandingkan ekstraksi konvensional dan tidak dapat memulihkan logam lebih banyak dibandingkan metode lainnya. Meski begitu, bioleaching menjanjikan proses ekstraksi yang lebih ramah lingkungan dikarenakan metode menggunakan panas atau kalor membutuhkan energi yang besar dan melepaskan gas-gas berbahaya dalam prosesnya sementara metode menggunakan cairan kimia juga akan menghasilkan limbah cair berbahaya.

Sebuah perusahaan rintisan (startup — red.) dari Selandia Baru bernama Mint Innovation menjadi salah satu perusahaan yang mencoba membawa proses ekstraksi logam dengan mikroba ke ranah umum. “Barang elektronik menghasilkan sampah yang begitu banyak, bagaimana jika kita dapat mengekstraksi metal dari sampah tersebut? Bagaimana jika kita dapat mengekstraksi emas dari sampah elektronik?” Ungkap Thomas Hansen selaku Commercial Manager dari Mint Innovation. Langkah meminimalisir sampah dengan menjadikannya sebagai suatu sumber daya baru ini bukanlah suatu hal yang asing bagi Mint Innovation mengingat Co-founder dan CEO mereka, Will Barker, sebelumnya bekerja untuk LanzaTech, sebuah perusahaan yang menggunakan bakteri untuk mengubah emisi karbon industri menjadi bahan bakar.

Fasilitas pengolahan milik Mint Innovation di Auckland, Selandia Baru. Photo courtesy of Mint Innovation.

Fasilitas pengolahan milik Mint Innovation di Auckland, Selandia Baru. Photo courtesy of Mint Innovation.

Mint Innovation memulai proses ekstraksi emas dengan menggiling papan sirkuit cetak (printed circuit board), batang RAM, prosesor, dan berbagai bagian dari barang elektronik yang menggunakan logam menjadi bubuk sehalus pasir. Bubuk ini kemudian memasuki proses ekstraksi padat cair (leaching) yang menghasilkan cairan dengan logam yang terlebur di dalamnya.

Setelah itu barulah mereka menggunakan mikroba untuk mengekstrak lebih banyak logam mulia. “Emas menjadi logam yang cukup sulit untuk diolah secara kimiawi karena tidak reaktif. Ia menjadi logam terakhir yang larut dan pertama yang keluar dari solusi.”

Tim pengolahan Mint Innovation juga menambahkan aqua regia atau air raja yang merupakan campuran asam klorida pekat (HCl) dan asam nitrat pekat (HNO3) untuk melarutkan emas ke dalam campuran dan ditambah bahan utama yakni mikroba Cupriavidus metallidurans. Organisme ini bertingkah seperti spons yang menyerap emas-emas yang telah larut dalam solusi.

Berikutnya, solusi masuk ke dalam mesin sentrifuga yang memutarnya dengan gaya sentrifugal sehingga terjadi pemisahan campuran dan menghasilkan endapan mikroba yang penuh dengan emas serupa plastisin berwarna ungu yang akan mengingatkan kita pada permainan Play Doh. Menariknya, emas di tingkat nanopartikel akan berwarna ungu dan bukan seperti warna emas yang kita ketahui pada umumnya. Endapan mikroba kemudia dibakar hingga menyisakan abu metalik yang kemudian melalui proses metalurgi tradisional untuk mengubahnya menjadi emas padat. Meski kini Mint Innovation berfokus pada emas, menurut Hansen mikroba ini juga dapat mengekstraksi logam lainnya seperti paladium, platina, dan rodium.

Saat ini Mint Innovation yang berbasis di Auckland tengah mencari lokasi untuk pabrik pengolahan sampah ramah lingkungan ini di berbagai kota lainnya. Mereka bekerjasama dengan pengolah sampah setempat untuk mengumpulkan sampah elektronik dan logam-logam bekas. Pabrik pengolahan mereka yang pertama di Auckland melakukan percobaan dengan menggunakan peralatan komputer bekas.

Previous
Previous

Belanja Online Dari Pasar Tradisional

Next
Next

Maingame.com dan Gojek Berkolaborasi Dalam GoGames